“Ayolah kan kamu sudah dewasa, umurmu bukan balita lagi, jangan kayak anak kecil dong”
Cukup sering ya orangtua mengucapkan dialog ini. Menuntut anak kecilnya bersikap dewasa karena usia mereka yang bukan lagi kanak-kanak. Saya termasuk salah satu yang pernah mengucapkan dialog macam ini juga.
Namun sembari merenungkan Kitab Suci pagi ini, tertemplaklah saya lewat Matius 18:1-5 ini:
1 Pada waktu itu datanglah murid-murid itu kepada Yesus dan bertanya: "Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga?"
2 Maka Yesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka
3 lalu berkata: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.
4 Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga.
5 Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku."
2 Maka Yesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka
3 lalu berkata: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.
4 Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga.
5 Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku."
Di mata Tuhan ternyata, kedudukan anak-anak lebih tinggi daripada kita yang orang dewasa ini! Kitalah , para orang dewasa , yang disuruhNya “menjadi seperti anak kecil”.
Not the other way around!
Orang dewasa yang sudah terbentuk pola pikirnya oleh beraneka tatanan nilai, sugesti dan persepsi, akan melihat segala sesuatunya melalui lensa pandangnya yang sempit dan terfilter. Jiwa pembelajar yang sarat rasa ingin tahu dari seorang anak sudah tertelan oleh rasa “aku sudah besar, bukan anak kecil lagi, segala sesuatu itu ada karena memang demikian”. Sang pribadi yang “sudah dewasa” ini mulai berhenti mempertanyakan segala sesuatu.
Sementara, anak-anak itu terlahir sebagai filsuf, kata Jostein Gaarder. Rasa ingin tahu mereka akan segala sesuatu begitu besar! Hal sepele bagi orang dewasa seperti bentuk donat, bisa menjadi pengamatan yang mendalam bagi seorang anak. “Mengapa donat tengahnya berlubang?”
“Mengapa semut berbaris jalannya?”
“Mengapa Tuhan ijinkan ada bencana alam ya?”
“Mengapa hidung lubangnya dua?”
Tak perlu menunggu perkara besar dan spektakuler bagi seorang anak untuk berpikir dan mengajukan pertanyaan. Benaknya selalu belajar!
Anak-anak melihat hal-hal sederhana di sekitarnya dengan kerendahan hati, melalui jiwanya yang pembelajar itu, ia melihat sekelilingnya dengan penuh ketakjuban!
Saya mau terus berproses dan belajar bersama anak-anak di sekolah kehidupan. Saya mau terus memiliki jiwa pembelajar seperti anak kecil. Merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil.
Harriet Beecher Stowe berkata bahwa “most mothers are instinctive philosophers”. Ya! Menjadi ibu adalah anugerah besar, suatu kesempatan untuk kembali menjadi seperti seorang anak kecil!
Salam Pembelajar,
Yunie
@agendaiburumahtangga
@agendasekolahrumah
#CMidbernarasiCYBbagian1
#imanikodratpembelajaranak
#CMidbernarasi
#CMidbernarasiyuniesutanto
#charlottemasonindonesia #CMidbernarasiagendaiburumahtangga
Wah masya Allah... Kebenaran yg ditulis di alkitab ini cocok dgn perkataan Umar bin Khattab (sahabat nabi Muhammad). Kata Umar, "Mintalah doanya anak kecil atas keperluanmu. Sebab tidak ada penghalang antara anak kecil dan Allah."
ReplyDeleteTerima kasih, Mbak Yunie. Salam pembelajar.
Mbak..kutipan dari Harriet Beecher Stowe ada di bukunya yang Uncle Tom's Cabin, kah?
ReplyDelete