Pages

Thursday, December 2, 2021

Hotel dan Korek Api




           Hotel di masa kecil adalah kenangan bersama Ayahanda. Hotel adalah tempat beliau menginap dalam kesibukan berbisnis di luar kota dan luar negeri. Hotel menjadi tempatnya beristirahat melepas penat di perjalanan. Selalu kunantikan kepulangannya dari perjalanan. Ia akan pulang membawakan oleh-oleh kesukaanku. Jika kuingat kembali, aku merasa aneh sebab sebagai bocah tujuh tahun aku suka mengkoleksi kotak korek api. Sebagai perokok berat Ayah memang terbiasa membawa korek api di kantongnya. Setiap hotel tempatnya menginap memiliki desain korek api kayu yang khas, dengan simbol dan alamat hotel tertera di kotaknya. Kotak-kotak korek api tersebut kemudian menjadi barang koleksiku. Ya, aneka kotak korek api dari pelbagai hotel yang disinggahi Ayah. Mungkin koleksi kotak korek apiku tak bisa mengalahkan Drajat Sukapraja, sang kolektor asal Bandung yang tercatat dalam rekor MURI karena memiliki koleksi 15,000 lebih kotak korek api dari berbagai belahan dunia. Ia pun lantas dijuluki sebagai filumenis pertama di Indonesia. Filumenis menjadi sebutan untuk para kolektor korek api. Ayahku bilang mencari oleh-oleh buatku itu irit dan gampang, hanya kotak korek api saja sudah membuatku senang. Kusimpan koleksiku dalam toples kaca khusus dan kupandangi satu per satu saat senggang. Bagiku di masa kecil, ingat hotel itu ingat korek apinya. 


          Aku pun ingat pernah menginap di hotel saat kami berlibur sekeluarga dan kamar itu memang terasa sumpek oleh bau asap rokok. Ya, Ayahku terbiasa merokok di kamar hotel. Ibuku akan marah-marah dan memintanya merokok di luar kamar hotel. Adakalanya ia turuti apa kata Ibu dan merokok di lorong hotel. Tapi tidak selalu demikian. Selesai merokok ia akan kembali masuk ke kamar dan aku akan  dengan manja meminta digendong atau dipangku olehnya. Bau nafasnya dan bau mulutnya tercium bau kretek. Bau yang anehnya kusukai entah mengapa, meski menyesakkan bagi sebagian orang. Wangi kretek malah mengingatkanku pada hangatnya pelukan Ayah. Mungkin aroma kretek itu terlanjur diasosiasikan positif oleh hipokampusku. Hingga kini aroma kretek itu seperti bau Ayahku. 


       Masih di masa kecilku. Aku pernah hilang di hotel saat tamasya ke negeri kangguru. Usiaku masih hampir lima tahun. Ya, aku berlari di lorong mendahului orang tuaku. Saat itu pintu lift terbuka dan aku nyelonong masuk sendiri. Untungnya ada pasangan suami istri bule di dalam lift itu yang berbaik hati membawaku ke lobi hotel dan menjelaskan kepada resepsionis dalam bahasa yang tak kupahami kala itu. Ibuku berlari tergopoh-gopoh menjemputkku di lobi hotel. Raut wajahnya terlihat campuran perasaan lega dan marah. Ibuku sedang hamil lima bulan. Ayahku memarahiku. Aku menangis tanpa suara dan cemberut seharian itu. Ayahku lantas menghiburku saat kami makan di restoran. Diambilnya kotak korek api dan ditunjukkannya korek api warna-warni yang ia miliki dari tiga hotel yang sudah kami singgahi. Pikiranku pun berhasil ia alihkan dan aku jadi mengamati korek api tersebut. Sejak saat itu hotel bagiku adalah korek api yang kukoleksi. 


        Aku ingat masa kuliahku dan kampus tempatku berkuliah yang memang bersebelahan dengan sebuah hotel. Banyak mahasiswi yang digosipkan berprofesi sebagai “ayam kampus”. Mereka menjajakan tubuhnya di saat jam kosong  atau saat di luar jam kuliah. Pelanggan mereka kebanyakan adalah om-om girang yang sedang dilanda puber kedua. Ada juga sih eksekutif muda sukses yang hobi jajan memuaskan birahi. Aku kaget saat menemukan fakta bahwa salah satu kawanku ternyata menjadi “ayam kampus.” Aku bertanya padanya mengapa ia melakukannya. Demi uangkah? Aku bisa meminjaminya uang kalau memang kepepet. Ia tak perlu kehilangan harga diri, demikian pikirku. Ia hanya menggelengkan kepala menjawabku. Bukan karena uang katanya. Ia hanya merasa dirinya berharga dan disayang oleh para pelanggannya itu saat ia menjajakan dirinya. Temanku ini memang sangat haus perhatian dari ayahnya dan mirisnya ia malah menyalurkannya lewat cara yang demikian. Aku sedih jika ingat temanku ini. Ia bukan orang kurang uang. Ia hanya kurang kasih sayang. Hotel di masa kuliah tak lagi perkara korek api. Hotel itu tempat mengerikan (baca:kemesuman) yang kuhindari. Hotel itu tempat memuaskan rasa haus  kasih sayang (ngenes!).


        Masa menikah dan punya anak pun kulalui.Menginap di hotel saat berliburan itu menjadi momen kenikmatan. Suamiku bukan perokok dan malah sensitif terhadap bau rokok. Ia selalu memilih no-smoking room. Kami pun beberapa kali menjajal staycation. Ada hotel indah di Bandung yang dilengkapi resort yang sangat memanjakan. Tubuhku termanjakan oleh spa, lulur, sauna dan layanan makan sepuasnya. Ada kegiatan outdoor untuk anak-anak seperti berkuda, berenang, playground, mini zoo dan golf mini. Hiruk pikuk kota yang monoton seolah terlupakan sudah oleh buaian kenikmatan dan fasilitas resort. Hotel beserta resort mewah ini memberikan banyak hiburan buat kami sekeluarga. Hotel bagiku semakin jauh dari korek api. Kini hotel itu tempat mengukir kenangan dan kasih sayang bersama keluarga inti. Hotel itu tempat bermain kembang api di akhir tahun. Old and new bersama keluarga besar di hotel sembari menghitung mundur menuju tahun yang baru. Tahun lalu pun hotel itu acara malam natal bersama keluarga besar saya. Kami foto-foto di kamar hotel yang view nya bagus dan malah bergadang saling tukar cerita sembari makan pizza. Hotel itu tempat keluarga berbagi kasih! 


        Ada pula pengalaman kami menghindari hotel transit di bandara saat hendak memesan tiket pesawat murah ke suatu tujuan wisata. Memang sih tiket murah itu biasanya waktu terbangnya kurang ramah. Setelah kami (baca: saya dan suami) memperhitungkan  biayanya, karena akan transit cukup lama, tentu tubuh bakal letih dan ujung-ujungnya nanti kami juga harus menginap di hotel transit bandara. Akhirnya kami batal membeli tiket murah tersebut. Mengutip Trinity dalam The Naked Traveler 1, sistem menginap di hotel transit adalah per lot, satu lot sama dengan enam jam (2014:4).  Satu lot kurang lebih dibandrol lima ratus ribuan jika single bed. Tak terbayang mahalnya biaya tambahan jika terpaksa harus menginap di hotel transit bandara! Hotel menjadi tempat menunggu dan mengusir bosan serta letih. Lagi-lagi tak ada korek api! Hotel kini malah tarifnya berdurasi! Walau satu kali pernah terpaksa menginap juga di hotel transit saat di Narita! Mahalnya memang ga ketulungan. 


      Hujan berlian di negeri orang tetap lebih nikmat hujan batu di negeri sendiri, demikian kata pepatah. Senikmat-nikmatnya layanan hotel, tetaplah tak bisa disamakan dengan nyamannya berada di rumah sendiri.  Amy Tan menulis dalam salah satu perjalanan tur bukunya di tahun 1991, saat ia mendapati dirinya berusaha  untuk tidur di sebuah hotel, demikian dituliskannya dalam buku memoar kepenulisannya yang berjudul The Opposite of Fate: In hotel beds, I would obsess over dumb answers I had given that day, over how inarticulate I had sounded, how I was a complete disgrace to American literature...To help lull me sleep, I would recall scientific details-such as the fact that the biggest source of room dust, accounting for something like 99.87 per cent, is slough-off human skin. I would imagine years and years of skin particles from happy and sad strangers who had slept in this very bed now circulationg in the air I breathed. Di ranjang hotel, saya akan terobsesi dengan jawaban bodoh yang saya berikan hari itu, tentang betapa tidak jelas kedengarannya saya, betapa saya benar-benar memalukan bagi sastra Amerika... Untuk membantu menidurkan saya, saya akan mengingat detail ilmiah-seperti fakta bahwa sumber terbesar dari debu ruangan, terhitung sekitar 99,87 persen, adalah kulit manusia yang terkelupas. Saya akan membayangkan bertahun-tahun partikel kulit dari tamu-tamu hotel yang bahagia maupun sedih,  yang tidur kelelahan di tempat tidur ini.  Partikel-partikel itu sekarang beredar di udara yang saya hirup (2003:138). Sebersih apapun nampaknya hotel, kita tak pernah tahu ada bekas-bekas apa dari penghuni kamar tersebut sebelumnya. Mungkin bagi orang-orang yang OCD di area kebersihan akan merasa jijik untuk menginap di hotel setelah membaca pikiran lancang Amy Tan terkait partikel kulit! Terlebih jika pihak hotel tidak membersihkan dengan teratur. Hotel menjadi tempat yang asing dan menakutkan untuk orang-orang tertentu yang super bersih. Hotel semakin jauh dari korek api!


   Namun korek api koleksiku itu masih rapih tersimpan rapih di toplesnya. Kenangan terukir di memoriku saat  tangan Ayah menghadiahkan setiap kotak korek api itu di genggaman tanganku. Setiap korek api akan menyulut percakapan tentang kisah-kisah perjalanannya. Kota apa yang disinggahi dan ada kuliner apa di situ. Suatu hari ingin mengajakku kesitu, demikian terucap olehnya jika ada tempat menarik untukku. Aku pasti suka tamannya katanya. Mentari paginya indah katanya. Ada satu kotak korek api yang terjumpai cukup banyak dalam toplesku. Hotel tersebut rupanya hotel yang paling sering dikunjungi Ayah. Nasi goreng di situ sangat enak katanya. Ayah mengajakku suatu kali ke hotel itu untuk makan nasi goreng berdua di situ. Aku ingat merasa bahagia sekali karena hanya aku yang diajaknya. Father and daughter time. Nasi goreng itu ada kacang polongnya. Aku yang tak suka kacang polong mendadak lahap menikmatinya saat tersaji dalam nasi goreng yang enak itu. Sejak hari itu aku jadi suka kacang polong. Sembari membuat tulisan ini, kembali kulihat toples korek apiku dan kembali kuingat hotel. Hotel lagi-lagi korek api! Korek api lagi-lagi hotel! Hotel dan korek api saling menyulut kenangan dalam memoriku.Seperti kisah gadis korek apinya Hans Chritian Anderson, setiap korek api menyimpan cerita yang menghangatkan.  Biarlah senantiasa demikian. Hotel itu korek api.

No comments: