Pages

Monday, September 20, 2021

Maya vs Nyata



Sebuah kutipan menarik hati, terambil dari sastra klasik Tiongkok Impian Bilik Merah (紅樓夢) karya Cao Xue Qin (1791):

     “Kita telah tiba di Tanah Maya” kata biksu buddha pada Shiyin. Ternyata di depannya terdapat                 gerbang batu yang di atasnya terukir nama “Tanah Maya Sawang Agung” Pada kedua tiang tengah         terdapat sebait kalimat berbunyi:

         Bila yang tak nyata dianggap nyata, maka yang nyata menjadi tak nyata,

         Bila yang tak ada dianggap ada, maka yang ada menjadi tak ada. (2013:14)

  Rupanya era digital ini sudah terprediksi sejak abad ke-18. Masa di mana yang nyata dianggap tak nyata. Pemandangan suami istri makan malam berdua, namun masing-masing asik dengan gawainya dalam dunia mayanya, ini pemandangan yang tak asing lagi. Yang nyata di depan mata dianggap tak nyata. Yang dekat jadi jauh. Yang tak ada dianggap ada. Sibuk merespon pesan di whatsapp dan memberi komentar Instagram menjadi lebih prioritas daripada menatap pasangan yang duduk bersebelahan. Percakapan berkualitas menjadi barang langka. Pikiran yang mendua itu biasa. Menyedihkan! Sungguh masa ini yang ada menjadi tak ada! Anak-anak balita dibuai gawai masing-masing yang meninabobokan lewat lagu-lagu dendang balita di youtube. Aplikasi belajar membaca dan buku bersuara menggantikan peran ibu mendongeng. Menyedihkan! Yang dekat jadi jauh. Secara fisik boleh berdekatan, secara emosi sangat berjauhan! Ngenes! 

  Tahun 1996, sebuah band funk asal Inggris “Jamiroquai” merilis single kedua dalam album Travelling Without Moving. Lagu itu berjudul Virtual Insanity. Penggalan lirik lagunya demikian: Future's made of /virtual insanity now/ (Masa depan /terbuat dari kegilaan virtual). Lagu memprediksi kegilaan virtual di masa depan. Sudah tibakah kita pada masa kegilaan virtual itu? Sepertinya demikian. Manusia semakin kurang manusiawi. Semua semakin tergantikan teknologi Artificial Intelligence (AI). Manusia semakin tersisih oleh kecanggihan fitur AI. Dulu orang ngomong sendiri itu gila. Kini ngomong sendiri di jalan dianggap biasa saja, paling-paling sedang voice call dengan koleganya. Dulu ketawa-ketawa sendiri itu hak orang sakit jiwa. Kini ketawa-ketawa sendiri itu akibat membaca candaan di status orang. 

  Pertanyaan terlontar di benak usil: Seberapa gilakah gila ini akan terus berlanjut? Kegilaan virtual yang makin merajalela! Selamat datang di generasi Alpha. Alpha itu alfabet pertama bahasa Yunani. Namun dalam kbbi alpa itu bermakna lalai dan lengah. Mungkin nama inipun prediksi dari kealpaan manusia generasi ini. Generasi yang bercirikan kelalaian dan kelengahan.  Dasar, Alpa!

No comments: