Pages

Tuesday, November 23, 2021

Riwayat Buku dalam Cetakan Kertas


Buku sedang menatap deretan foto nenek moyangnya yang terpampang di dinding. Ralat. Buku sedang meratap di depan deretan altar leluhurnya! Di sudut paling kanan terdapat gambar lempangan tanah liat bangsa Asiria. Tepat di sebelahnya sebuah lukisan lembaran papirus di zaman Mesir Kuno, terdapat keterangan di bawah gambar itu bahwa kata paper dalam bahasa Inggris berasal dari tanaman papirus. Di sudut kiri terdapat lukisan kertas beras dan bilah bambu di Tiongkok kuno. Tepat di altar terdapat sebuah gulungan perkamen dari abad pertengahan. Galeri itu penuh kenangan napak tilas jejak leluhurnya. Buku terlihat sedih dan tak berdaya. Ia sangat kuatir jika ia kelak punah dari peradaban manusia. Apa kata leluhurnya di akhirat nanti?


Adaptasi dan inovasi membuat bentuk buku terjilid dan bersampul seperti saat ini. Berbeda nian dengan wujud para leluhur yang berwujud lempengan, gulungan dan anyaman. Masih kenalkan para leluhur terhadap cucunya yang kini sudah bermutasi dalam wujud? Cobalah tengok di perpustakaan dan toko buku! Ada buku necis yang berjaket sampul tebal dan dijahit elegan, ia dijuluki buku hardcover. Ada yang dijilid model lem biasa dengan sampul tipis dan dijuluki buku softcover. Ada pula buku yang imut kecil dan hanya distaples, lantas diberi nama buklet. Dahulu buku-buku itu disalin tangan satu per satu. Pengerjaannya sangat memakan waktu dan harganya pun amat mahal. Tidak sembarang manusia memiliki buku-buku di zaman kuno. Hanya segelintir manusia yang melek huruf. 


Siapa yang menginisiasi buku dalam bentuk terjilid? Rupanya kita  harus berterimakasih pada para jemaat mula-mula Kristiani. Kita membaca dalam Para Penjaga Ilmu Dari Alexandria Sampai Internet bahwa menjelang abad pertama, orang-orang Kristen mengikat lembaran-lembaran papirus atau perkamen dalam tablet-tablet yang tengahnya terbuka ke bawah(McNeely dan Wolverton, 2010: 46). Kodeks memberikan solusi praktis sehingga tulisan mudah dibawa-bawa kemana-mana. Tulisan pun berada di dua sisi permukaan sehingga memudahkan menandai halaman tertentu. Buku-buku pada abad pertengahan banyak disalin dan disimpan di biara-biara. Buku-buku ini merupakan barang berharga di masa itu. Kita membaca di halaman 7 seri Pustaka Dasar “Kertas dan Cetakan” bahwa agar tidak dicuri, buku-buku itu dirantai pada rak. Terlihat pula ilutrasi apik full-color di halaman 7, seorang biarawan sedang menyalin halaman sebuah buku dengan pena bulu. 


Kertas-kertas di dalam buku-buku awalnya hanyalah tulisan. Tanpa ilustrasi. Mungkin tradisi Ibrani yang melarang gambar dan patung dalam bentuk apapun menjadi salah satu pemicu langkanya ilustrasi dalam teks-teks suci. Teks-teks suci disalin dan memakan waktu lama memproduksi satu buku saja! Di abad ke 15,dituliskan dalam buku Thirty More Famous Stories oleh James Baldwin, perjumpaan John Gutenberg dengan Laurance Jaonseen di Haarlem merubah sejarah buku. Perjumpaan itu memantik ide dan mengobarkan semangat Gutenberg untuk membuat alat yang bisa mencetak dengan cepat menggunakan huruf-huruf logam. Pengembangan huruf-huruf kayu yang dibuat oleh Laurence ternyata menghasilkan penemuan mesin cetak Gutenberg yang mengubah sejarah perbukuan. Cara mencetak yang ditemukan Gutenberg disebut Leterpres. 


Kini teknologi percetakan semakin maju. Mesin Linotype dan Monotype diciptakan. Ilustrasi cantik pun mulai menghiasi buku-buku! Perkamen dari abad pertengahan bernama Haggadah Sarajevo yang ditemukan terlihat manis dengan ilustrasi nan cantik! Ilustrasi kini tak hanya hitam putih, tapi berwarna. Teknologi percetakan makin canggih! Ilustrasi semakin canggih kini menghiasi kata-kata yang tercetak. Bahkan buku kumpulan tanpa kata pun bermunculan, yang isinya gambar-gambar saja. Ada pula komik dan manga yang fokus utamanya gambar dengan sedikit tulisan. Teknologi cetak digital pun semakin mempermudah buku-buku dimiliki siapa saja.


Namun sang buku berlutut di hadapan altar leluhurnya, masih saja meratapi nasib. Ia kuatir akan masa depan dan kelangsungan hidupnuya. Buku-buku kini tak kasat mata. Macam hantu saja. Lima puluh tahun silam, tepatnya 4 Juli 1971. Mimpi buruk buku dimulai dengan diciptakannya e-book pertama oleh Michael S Hart. Pendiri situs Gutenberg.org ini berikhtiar hendak menyediakan layanan digital buku-buku lawas yang sudah tak dicetak ulang agar tetap abadi. Sebuah niat baik yang ternyata mengubah nasib buku fisik. Orang mulai perlahan beralih ke buku digital. Dalih penghijauan bumi dan hemat kertas menjadi alasan. Orang-orang kembali membaca dengan lempengan bernama tablet. Gawai menjadi alat membaca buku-buku elektronik. Buku fisik semakin terancam keberadaannya. Buku masih berlutut meski bermandikan peluh, ingus dan air mata. Ia bingung jika tak lagi dicetak dan hanya hadir dalam layar digital. Masihkah ia buku? Masihkah ia berfungsi seperti buku-buku yang berwujud nyata? 


Nasib buku di tangan para pembaca. Manusia yang melek literasi, merekalah yang menentukan riwayat buku. Apakah manusia era milenial lebih akan memilih buku dalam bentuk digital atau tetap dalam bentuk kertas-kertas? Biarlah waktu yang menjawabnya

No comments: